Saturday, January 14, 2012

KONFORMITAS: KAPAN DAN MENGAPA TERJADI? PART II



COMPLIANCE

Istilah compliance sering digunakan secara bergantian dengan conformity. Namun bagaimanapun juga di sini istilah compliance digunakan dalam arti yang lebih khusus.

Ini berbeda dengan conformity yang berarti respon terhadap tekanan yang tidak  langsung, respon terhadap tekanan yang dirasakan oleh individu tanpa adanya perintah langsung.

Contoh:
Bila dalam suatu acara kita memutuskan untuk mengenakan pakaian resmi karena mengira orang-orang lain juga demikian dan kita tidak ingin nampak berbeda dengan orang lain, ini berarti conformity.
Bila seseorang meminta kita mengenakan pakaian resmi agar tidak nampak berbeda dengan orang lain, dan kita mengabulkannya, ini berarti compliance. Ketika seorang penjual menawarkan suatu barang dan kita setuju membelinya, ini juga berarti  compliance.

Terdapat beberapa bentuk compliance, yang telah dipelajari berdasarkan peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari: the food in the door effect, the door in the face effect, the low ball procedure, the lure.

1. The Food in the Door Effect
Praktik the food in the door effect ini banyak terjadi di kalangan para penjual (salespeople). Dalam psikologi social istilah ini menunjuk pada kenyataan bahwa seseorang yang telah mengabulkan sebuah permintaan kecil lebih besar kemungkinannya mengabulkan permintaan berikutnya yang lebih besar, lebih substansial.

*      Eksperimen Scott Fraser (1966)
Fraser merancang eksperimen dengan meminta dua orang eksperimenter (bimbingan Fraser)
untuk menghubungi ibu-ibu di daerah pinggiran kota, dan mengajukan permintaan: permintaan yang pertama lebih kecil dan permintaan berikutnya lebih besar.
Fase Pertama: Para ibu diminta memasang pengumuman kecil di pintu rumahnya, berisi tentang peringatan untuk mengemudi dengan hati-hati dan untuk menjaga California agar tetap indah. 
Fase ke dua (dua minggu kemudian):  Eksperimenter lainnya datang ke rumah tiap-tiap subjek (para ibu yang telah diminta memasang pengumuman kecil) dan meminta agar dua minggu kemudian mereka masing-masing memasang billboard besar yang kurang menarik, berisi pesan untuk menjaga lapangan rumput masing-masing. Sementara itu ada sejumlah ibu-ibu yang lain (kelompok kontrol) yang langsung menerima permintaan memasang billboard.
Hasil penelitian menunjukkan adanya food-in-the-door effect yang sangat kuat: subjek yang menerima permintaan kecil terlebih dahulu lebih banyak yang bersedia memenuhi permintaan memasang  billboard daripada kelompok kontrol.


Apa yang menyebabkan terjadinya the food-in-the-door effect ?
(a)      Penjelasan pertama, menekankan persepsi diri seseorangMenyetujui untuk membantu, mungkin membuat seseorang merasa bahwa pada dasarnya ia orang yang suka menolong. Oleh sebab itu ia cenderung menyetujui permintaan ke dua, karena berharap hal itu dapat memelihara image (citra) dirinya sebagai orang yang suka menolong.
(b)      Kemungkinan lainnya adalah adanya persepsi bebas memilih. Jika seseorang ditekan untuk memenuhi permintaan, tidak ada alasan baginya untuk melakukan atribusi internal (menunjuk sifat pribadinya sebagai penyebab perilaku). Kenyataannya, bila terdapat tekanan, biasanya justru memperlemah atau mengeliminir the food-in-the-door effect. Dalam penelitian ini subjek yang mengalami food-in-the-door effect memenuhi permintaan tanpa tekanan, memberi dengan kebebasannya untuk memberi.

2. The Door in the Face Effect
Istilah door-in-the-face effect dicetuskan oleh Robert Cialdini dkk, menggambarkan bahwa seringkali orang yang telah menolak permintaan pertama cenderung untuk memenuhi
permintaan berikutnya (Cialdini et al, 1975).

Terdapat serangkaian situasi yang menentukan terjadinya the door-in-the-face effect (de Jong, 1979):
(a)      Permintaan pertama harus berupa permintaan yang sangat besar sehingga orang yang menolak tidak memiliki kesimpulan negatif terhadap dirinya.
(b)      Untuk terjadinya the door-in-the-face effect, permintaan kedua harus diajukan oleh orang yang sama yaitu yang mengajukan permintaan pertama.

Ada istilah yang dekat artinya dengan the door-in-the-face effect, yaitu teknik  that’s not all (Burger, 1986).  
Misalnya, situasi ketika kita sedang duduk di rumah dan mendengar suara ketukan di pintu.  Sepasang siswa SMU menawarkan lilin untuk mendapatkan dana bagi tour yang direncanakan sekolah mereka. “Kami menjual lilin harganya 3$ per lilin”, kata siswa pria. Sebelum kita berkesempatan menjawab, siswa wanita langsung menimpali mengatakan bahwa untuk kita diperbolehkan membeli dengan harga 2$. Menurut penelitian Jerry Burger (1986), situasi ini lebih memungkinkan kita membeli lilin itu daripada ketika kepada kita langsung ditawarkan harga 2$.

Perbedaan utama antara the door-in-the-face effect dan that’s not all :
Pada the door-in-the-face effect  subjek berkesempatan untuk menolak; sedangkan pada that’s not all tawaran yang lebih menarik diberikan sebelum terjadi respon menolak atau menerima. Hasil penelitian Burger menemukan bahwa that’s not all lebih efektif menimbulkan compliance daripada the door-in-the-face effect.

3. The LowBall Procedure

Penemuan lain mengenai compliance yang diperoleh dari para praktisi adalah the low-ball procedure (Cialdini, Cacioppo, Basset, & Miller. 1978). Biasanya diterapkan oleh dealer mobil. Teknik melempar bola rendah ini meliputi usaha untuk menarik pembeli dengan menawarkan harga yang sangat rendah (misalnya 500$ dibawah harga yang ditawarkan kompetitor). Kemudian setelah pembeli setuju untuk membeli, kondisi yang telah disepakati dirubah; hasilnya harganya lebih tinggi dari penawaran sebelumnya. Alasan diberikan, misalnya bahwa pimpinan menolak karena harga yang pertama itu hanya berlaku untuk mobil bekas.

Mengapa terjadi the low-ball procedure?

Cialdini (1985) menjelaskan bahwa setelah menerima penawaran pertama, pembeli membuat komitmen, kemudian mengembangkan serangkaian pembenaran (justification) terhadap komitmen tersebut. Ketika pembenaran pertama (harga murah) kemudian dicabut, ia masih tetap mencari pembenaran untuk mendukung keputusannya membeli produk, meskipun alasan itu berkembang belakangan.


3. The Lure

Teknik lain dikembangkan berdasarkan  low-balling, oleh Robert Joule dkk (Joule & Beavois, 1987; Joule et al, 1989) disebut the lure. Teknik ini diawali dengan penawaran yang sangat rendah, misalnya harga suatu barang turun 50% dari harga reguler. Ketika seseorang setuju membeli, ternyata warna, ukuran, dan kualitas yang dikehendaki tidak tersedia. Penjual kemudian memajang barang yang serupa dengan yang dikehendaki pembeli, namun dengan harga reguler.
Perbedaan antara the lure dengan low-balling: Dalam low-balling harga barang yang diinginkan dinaikkan, sedangkan pada the lure ditawarkan produk pengganti ditawarkan dengan harga yang lebih tinggi.

Mengapa Orang Melakukan Compliance?
Berikut ini terdapat beberapa pendapat mengapa orang melakukan compliance yang kadang-kadang berupa “trik kotor” itu?
-     Penelope Brown & Stephen Levinson’s (1987) mengajukan teori kesopanan. Compliance mungkin terjadi dalam rangka manajemen kesan yang meliputi usaha menyelamatkan muka. Menyelamatkan muka, yaitu berperilaku sedemikian rupa untuk mencegah perubahan kesan orang lain terhadap dirinya, atau berperilaku tertentu untuk menimbulkan perubahan kesan.
-     Karena mindless, yaitu kurang berpikir terhadap permintaan (Langer, 1978b; 1989a)
-     Karena adanya kekuasaan (power) (French & Raven, 1959)

 

Bentuk-bentuk Kekuasaan dan Dasarnya


Bentuk
Dasar
Coercive power
Reward power
Expert power           
                  
Legitimate power

Reverent power
Kemampuan agen untuk memberikan hukuman
Kemampuan agen untuk memberikan ganjaran
Keyakinan target bahwa agen memiliki pengetahuan,                                                  kemampuan, atau keahlian yang tinggi   
Target yakin bahwa agen memiliki otoritas untuk                                                        memerintah dan mengambil keputusan
Target mengidentifikasi dengan ketertarikan atau hormat  terhadap agen


KEPATUHAN (OBEDIENCE)


Dalam kepatuhan terdapat perasaan tertekan untuk menuruti simbol-simbol otoritas, seperti orang tua, polisi, traffic lights. Namun demikian, obedience juga dapat membuat kita melakukan tindakan ekstrim dan menyisakan kerusakan berjangka panjang. Misalnya, pembunuhan besar-besaran di Vietnam oleh tentara Amerika atau penembakan mahasiswa dalam peristiwa Semanggi I dan II (1987) merupakan bentuk kepatuhan terhadap pimpinan yang menyisakan korban yang tak terhapuskan hingga sekarang.

*      Eksperimen Milgram (1963, 1965)
Situasi eksperimennya berupa situasi belajar. Subjek eksperimen adalah orang yang dibayar untuk datang di laboratorium (tempat eksperimen) dan bertugas sebagai guru yang memberikan shock (kejutan) kepada seseorang yang belajar (diperankan oleh pembantu eksperimenter) bila orang yang belajar tersebut membuat kesalahan dalam mempelajari suatu daftar pasangan kata-kata. Shock yang diberikan adalah berupa kejutan listrik yang bertingkat-tingkat voltasenya (15 s/d 450 volt), diberikan sesuai dengan tingkat kesalahan dalam belajar. Semakin banyak kesalahan, maka semakin tinggi voltase kejutan listrik yang diberikan.  Dalam eksperimen ini pembantu eksperimenter yang berperan sebagai murid seolah-olah benar-benar terkena kejutan listrik dan berpura-pura mengalami kesakitan ketika subjek menekan tombol listrik sebagai hukuman. Seolah-olah semakin lama semakin kesakitan, sesuai dengan besarnya voltase kejutan listrik yang diberikan oleh subjek yang makin lama semakin tinggi. Hasil dari eksperimen ini adalah: 26 dari 40 subjek (65%) melanjutkan pemberian kejutan listrik terhadap murid, meskipun mereka yakin bahwa telah menyakiti orang lain dan menunjukkan ketegangan (gemetar, gugup, dan berkeringat dingin).
Dalam eksperimen lanjutan, Milgram membuktikan bahwa tingkat kepatuhan berkurang bila :
(a)    Sang guru (subjek) secara fisik didekatkan dengan “murid”,
(b)    Kehadiran eksperimenter (yang membayar subjek untuk “bertugas” sebagai guru) dibuat tidak menonjol.
Dari hasil ini dapat disimpulkan bahwa adanya konflik antara perintah dan nilai-nilai pribadi sering diatasi dengan menurunkan tingkat kepatuhan. Jadi ketaatan akan tinggi bila:
(a) perintah bersesuaian dengan nilai-nilai pribadi,
(b) kehadiran orang yang memerintah sangat menonjol.

Kritik Terhadap Milgram
(a)      Hak-hak subjek tidak dilindungi. Mereka tidak diberitahu, dan esperimenter tidak meminta ijin  bahwa eksperimen akan menimbulkan konflik dan stress.
(b)      Subjek dapat kehilangan kepercayaan terhadap eksperimenter, universitas tempat Milgram, dan ilmu pengetahuan pada umumnya.
(c)      Yang lebih penting lagi adalah bahwa konsep diri subjek dapat berubah negatif dalam jangka panjang. Mungkin subjek memandang dirinya sebagai orang yang kejam.

Menjawab kritik terakhir tersebut Milgram memberikan jawaban:
-     Debrifing (penjelasan mengenai tujuan eksperimen) yang diberikan pada akhir eksperimen telah cukup untuk menurunkan ketegangan-ketegangan, keraguan, atau kemarahan yang dialami subjek.
-     Pada tahun 1974 Milgram melaporkan bahwa berdasarkan interviu yang dilakukan oleh psikiaris terhadap subjek, dilengkapi dengan uesioner yang diisi oleh subjek, hasilnya menunjukkan bahwa tidak terdapat efek yang merusak dalam jangka panjang.


THE SENSE OF CONTROL
Ada orang yang merasa yakin memiliki kendali yang besar terhadap perilakunya sendiri, namun sebaliknya juga ada orang yang merasa tidak yakin bahwa dirinya memiliki kendali yang besar terhadap perilakunya sendiri. Demikian pula theorists (para pengembang teori), berbeda-beda pandangan dalam isu personal control ini.
(a)      Pandangan humanistik: bersandar pada asumsi bahwa kita mengendalikan hampir sepenuhnya terhadap apa yang kita lakukan
(b)      B.F. Skinner dan pengikutnya (behavioris): memandang bahwa stimulus lingkungan yang mengendalikan perilaku kita, yaitu bahwa kita dikendalikan oleh rewards dan punishment dari lingkungan, dan bahwa personal control  hanyalah imajinasi.
(c)      Psikologi Sosial mengambil posisi di antara pandangan umanistik dan beavioris

The Illusion of Control

Kita seringkali mengembangkan ilusi seolah-olah mengendalikan semua hasil dari peristiwa-peristiwa yang sebenarnya  murni ditentukan oleh kesempatan. Ellen Langer (1983) telah memaparkan fakta-fakta yang mendukung adanya ilusi ini.

(a)      Berpartisipasi dalam lotere merupakan situasi dimana  kemenangan ditentukan semata-mata oleh kesempatan. Namun demikian banyak orang yang yakin dapat mengendalikan situasi ini.
Langer (1975) memberikan kesempatan orang-orang membeli lotre seharga $1 dengan kesempatan memenangkan $50. Ada kelompok yang diminta untuk memilih sendiri tiket lotrenya, dan ada kelompok lain yang menerima tiket secara acak dari eksperimenter. Sebelum diundi, eksperimenter menawari apakah ada yang ingin menjual tiket kepada seseorang yang akan membelinya dengan harga yang lebih tinggi dari harga beli. Hasilnya, subjek yang menerima tiket secara acak ingin menjual rata-rata dengan harga $ 1.96.  Sebaliknya, subjek yang memilih sendiri tiketnya ingin menjual dengan harga yang lebih tinggi, rata-rata $8.67, dengan berasumsi bahwa mereka memiliki kesempatan yang lebih tinggi daripada subjek yang tidak memiliki kesempatan memilih tiketnya sendiri.
(b)      Dalam situasi lain yang ditentukan oleh kesempatan namun tampak seperti adu ketrampilan, kita lebih yakin mengendalikan hasil permainan kita.
Dalam situasi seperti itu dengan kompetisi, kita lebih yakin akan sukses bila bertemu dengan kompetitor yang tampak kurang kompeten daripada dengan kompetitor yang tampak kompeten, meskipun hasilnya sebenarnya murni ditentukan oleh kesempatan (Langer, 1975). Misalnya, bermain game berkompetisi dengan anak-anak, kita merasa lebih yakin akan menang.
(c)      Keberhasilan dalam suatu tugas, juga merupakan situasi yang menimbulkan ilusi akan kontrol personal.
Dalam studinya yang lain Langer & Roth (1975) meminta subjek menebak lemparan koin, dan mengatur sedemikian rupa sehingga keseluruhan hasil yang diperoleh semua subjek sama persis. Namun demikian ada kelompok yang terlebih dahulu mengalami sukses dan kemudian gagal; ada  yang  terlebih dahulu gagal lalu sukses; dan kelompok ke tiga memperoleh hasil secara acak. Hasilnya, subjek yang lebih dahulu mengalami sukses lebih yakin akan kemampuannya, meramalkan dirinya lebih sukses pada waktu yang akan datang, dan memandang dirinya lebih rampil. Sukses di awal nampaknya menciptakan keyakinan dalam kemampuan untuk mengendalikan perolehan (outcomes).
 
Konsekuensi Adanya Keyakinan Akan Kontrol
Adanya keyakinan akan kendali diri, membuat dunia sekitar (kehidupan) nampak lebih dapat diprediksi!

Perbedaan Individu dalam Persepsi akan Kendali Diri
Untuk mengetahui perbedaan individu dalam hal ini kita diperkenalkan pada konsep locus of control / LOC (pusat kendali) yang pertama kali dikenalkan oleh Julian Rotter (1996). Rotter menjelaskan bahwa secara umum orang cenderung meyakini bahwa  kendali atas peristiwa-peristiwa dalam hidupnya  terutama ditentukan oleh faktor internal atau sebaliknya ditentukan faktor ekstrnal.
-     Orang internal,  cenderung yakin bahwa ia memiliki kemampuan untuk mengendalikan peristiwa-peristiwa hidupnya.
-     Orang eksternal, cenderung meyakini bahwa peristiwa-peristiwa dalam hidupnya terutama ditentukan oleh lingkungan sekitarnya

Meskipun konsep LOC agak kabur, namun hasil-hasil penelitian menunjukkan bahwa orang-orang berbeda, seringkali secara dramatis, dalam memandang dunia dan dalam perasaan efektivitasnya menghadapi lingkungan (Phares, 1976; Strickland, 1977). Misalnya:
-     Orang yang yakin bahwa perilakunya lebih dikendalikan secara eksternal, lebih senang menuruti pengaruh sosial daripada mereka yang yakin bahwa perilakunya lebih dikendalikan secara internal.
-     Di sisi lain orang yang menurut terhadap pengaruh sosial, yang LOCnya lebih internal akan cenderung mengubah sikap mereka agar konsisten dengan perilaku, melalui pengurangan disonansi  atau mekanisme yang lain.
-     Individu-individu dengan LOC internal juga lebih mungkin melakukan pencegahan bencana alam seperti Tornado daripada orang yang LOCnya eksternal (Sims & Bumann, 1972).

Reaksi Orang yang Kehilangan Kendali Pribadi
Baik orang yang LOCnya internal maupun eksternal, pada dasarnya semua orang ingin lebih dapat mengendalikan peristiwa-peristiwa hidupnya. Terdapat beberapa macam reaksi bila seseorang merasa tidak lagi dapat mengendalikan hidupnya: psychological reactance, learned helplessness, dan self-induced dependence.
1.  A Theory of Reactance
Jack Brehm (1966; Brehm & Brehm, 1981) mengajukan konsep psychological reactance untuk menjelaskan reaksi kita atas keadaan kehilangan kendali atau kehilangan pilihan bebas. Menurut Brehmreactance adalah kondisi motivasional yang muncul  ketika seseorang merasa bahwa kebebasannya terhambat atau terancam.
 Jadi, terancamnya kebebasan menurut teori ini menciptakan kondisi psikologis reactance, dan kondisi motivasional ini menyebabkan seseorang  melakukan tindakan yang dapat memulihkan kendali  atau kebebasan pribadi.
à Berikan contoh keadaan yang mencerminkan psychological reactance!!!

2.  Learned Helplessness
Keyakinan kita terhadap personal control bersandar pada kenyataan bahwa apa yang diperoleh (outcomes) dapat diprediksi. (Catatan: isu-isu predictability  dan control berhubungan sangat erat). Namun demikian, bagaimanapun terdapat situasi dimana terjadi prinsip noncontingency: perilaku-perilaku yang sama tidak selalu menghasilkan outcomes yang sama, yaitu ketika seseorang mengalami outcomes yang tidak diharapkan. Martin Seligman (1975) mendefinisikan learned helplessness sebagai suatu keyakinan bahwa outcomes (apa yang diperoleh) seseorang tidak tergantung pada tindakan-tindakannya.

à Berikan contoh keadaan yang mencerminkan learn-helplessness!!!

3.  Self-induced Dependence
Outcomes yang tidak dapat dikendalikan merupakan sumber perasaan kehilangan kendali. Di samping itu terdapat pula situasi yang dapat menimbulkan semacam illusion of incompetence (ilusi ketidakkompetenan)
Misalnya, seseorang mungkin secara tidak langsung menyatakan bahwa seseorang tidak kompeten, lalu orang yang dinyatakan tidak kompeten tersebut meyakini dirinya tidak kompeten.
Langer (1983) menyatakan bahwa sebagian dari para lansia yang mengalami disfungsi mungkin secara tidak langsung merupakan hasil dari pengalaman mendapatkan label tidak kompeten (incompetent). Sebagai anggota masyarakat, kita cenderung untuk mengasumsikan bahwa mereka telah melewati kondisi primanya, tidak mampu (incapable) dalam berbagai aktivitas fisik dan mental, dan secara umum bergantung pada bantuan teman, orang-orang terdekat, serta personel institusional. Asumsi semacam itu bukan hanya tidak akurat, bahkan menurut Langer dapat menciptakan self-fulfilling prophecy. Lansia itu sendiri, yang diberi label tergantung, dapat meyakini label tersebut.
à Berikan contoh lain, keadaan yang mencerminkan self-induced dependence!!!



Sumber:  

Deaux, K., Dane, F.C., Wrightsman L.S. (1993). Social Psychology in the “90s. Pacific Grove: Brooks/Cole Publishing Company.



No comments:

Post a Comment